Mari jadikan kisah berikut ini sebagai pelajaran, untuk tidak
bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apapun
kondisinya. Bagaimanapun caranya. Terlebih lagi dengan bumbu “ta’aruf
syar’i”, “khitbah”, namun tanpa diiringi dengan ilmu yang benar dalam
penerapannya? Syaithan begitu bersemangatnya dalam menggelincirkan
manusia. Apabila yang berlabel “aktivis dakwah” saja tergelincir dalam
tipu muslihatnya, bagaimanatah lagi dengan kami yang sekadar berlabel
‘orang awam”?
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru
mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa
pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa
tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa
yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah
yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak
mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya
diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb
Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi
mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang
rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik
memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu
mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa
yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya
tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya.
Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan
dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk
mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat
kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya
sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelaki nya, dia
mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali
menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih
tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia
muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan
di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan.
Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan
mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan
bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan
semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya
raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan
para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah
mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah
nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya
diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari
menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang
dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut
ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana
meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama.
Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar
batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk
ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda
itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah
beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini
tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang
Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan
sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat
dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”,
kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga
sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di
belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu
memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru
tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi
asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan
seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja
dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun
surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan
dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan
sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelaki nya
di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang.
“Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa.
Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada
kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut.
Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok
belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami
kacau. Kami merasa hancur.”
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar.
Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang
awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung.
Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan
katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu
bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit
adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari
anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“Subhanallah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi
gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya
Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak,
karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak,
ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus
setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu
terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh
tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu
tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon
suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah
teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan,
“Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil
ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang
meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan
kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak
tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari
mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta
doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh
hati. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti
hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya
mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi
orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami
titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha
Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa
pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd
yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis
beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu
dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal
dengannya.” (akhwatmuslimah)


