Sebagian orang memahami, untuk bahagia dalam hidup berumah tangga harus mendapatkan pasangan yang sempurna, suami yang tampan, pintar, supel, dan sejumlah kriteria ideal lainnya. Padahal, kebahagiaan bisa dirasakan oleh siapapun.
Tidak perlu menjadi sempurna untuk bahagia, kita bisa bahagia bersama keluarga di tengah berbagai kekurangan yang kita miliki, pada kalangan keluarga kaya, mereka berbahagia dengan cara dan model sebagai orang kaya, pada kalangan keluarga sederhana mereka berbahagia dengan model dan caranya.
Tak ada suami sempurna, kadang istri menuntut kesempurnaan suami untuk menjadi sosok pribadi tanpa cela, tuntutan seperti ini tidak realistis dan hanya akan menimbulkan kekecewaan berkepanjangan, sebagaimana ungkapan tak ada gading yang tak retak, maka pahami pula bahwa tak ada suami yang sempurna, oleh karena itu Allah SWT menciptakan pasangan suami istri agar saling melengkapi.
Tak ada satu pun suami yang tak memiliki cela dan sisi kelemahan dan kekurangan, itulah manusia, yang selalu memiliki dua sisi dalam kehidupannya, positif dan negatif, baik dan buruk, kelemahan dan kelebihan justru di situlah letak kesempurnaan manusia, bahwa mereka mendapatkan potensi yang utuh untuk di kelola secara benar.
Mengupayakan perbaikan, berbagai kekurangan pada suami tentu saja harus ada upaya perbaikan, suami tidak boleh pasrah, pasif, menerima kondisi dirinya tanpa ada upaya untuk menjadi lebih baik, manusia di ciptakan dengan sebaik-baik penciptaan dan kondisi yang fitrah, dengan karakter yang bisa diubah menjadi baik.
Dengan demikian istilah terimalah aku apa adanya tidak boleh dijadikan alasan untuk bersifat statis. Menerima kekurangan dan kelemahan, keinginan pasangan untuk diterima apa adanya patut diungkapkan setelah berusaha sekuat mungkin dalam memperbaiki diri, kuncinya adalah kesediaan kedua belah pihak untuk saling memberi, melengkapi, menguatkan, dan menunaikan peran masing-masing.


